Perkembangan teknologi digital dan internet membuat pekerjaan manusia semakin mudah dan cepat. Kehadiran teknologi digital dan internet juga dapat menggantikan pekerjaan manusia, termasuk dalam pengelolaan, pelayanan, dan pekerjaan pustakawan dapat tergantikan oleh aplikasi dan mesin, seperti robot. Fenomena tersebut dapat dikatakan sebagai disrupsi. Konsep yang muncul dalam menghadapi perubahan tatanan sosial sebagai dampak era disrupsi adalah konsep inklusi sosial. Pendidikan inklusif akan mewujudkan inklusi sosial, karena hal tersebut sangat berkaitan erat dengan hak asasi manusia dan martabat, keadilan sosial, penyetaraan, keamanan, budaya, serta keragaman bahasa dan etnis. Perpustakaan sebagai bagian penting dari pendidikan mengemban amanah sebagai tempat pembelajaran dan kemitraan bagi masyarakat yang dikelola secara profesional dan terbuka bagi semua kalangan sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan dapat diukur capaian kinerja bagi kesejahteraan masyarakat. Pustakawan merupakan organik yang berperan penting dalam mewujudkan perpustakaan berbasis inklusi sosial. Pustakawan harus memiliki inovasi menghadapi pergeseran fungsi perpustakaan di era teknologi ini. Maka penulis mengangkat pembahasan mengenai “social librarian” pada tulisan ini untuk menjelaskan bahwa sebagai pekerja sosial, pustakawan harus bertindak sebagai pendidik, penyaring, dan inovator dalam pekerjaannya. Pustakawan harus mampu bekerja sebagai kurator, pembuat konten digital, dan menjadi penghubung dengan pengguna. Di dalam artikel ini akan dibahas pula kontribusi yang sudah penulis lakukan di Telkom University Openlibrary sebagai tempat kerja penulis dan lingkungan terdekat sebagai pustakawan untuk mewujudkan inklusi sosial di era disruptif memakai pendekatan dan konsep social librarian.